HUTAN: PERMASALAHAN DAN REVITALISASINYA
“Bumi ini mengandung cukup sumber daya untuk seluruh umat manusia, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kerakusan segelintir manusia saja” (Mahatma Gandhi)
“Tidak akan ada pelestarian alam tanpa rakyat, dan tidak akan ada kesejahteraan rakyat tanpa pelestarian alam” (Falsafah Skephi)
a) Menjelasan tentang pengertian, jenis dan fungsi hutan Indonesia
Pengertian Hutan seperti yang tertera dalam UNDANG UNDANG NO. 5 TAHUN 1967 tentang KETENTUAN KETENTUAN POKOK KEHUTANAN BAB 1 Pasal 1 diartikan sebagai suatu lapangan yang cukup luas, bertumbuhkan kayu, bambu dan atau palem yang bersama sama dengan tanahnya, beserta segala isinya baik berupa nabati maupun alam hewani, secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup yang mempunyai kemampuan untuk memberikan manfaat manfaat produksi, perlindungan dan manfaat manfaat lainnya secara lestari. Luas minimum lapangan yang bertumbuhan itu adalah seperempat hektar, sebab hutan seluas itu sudah dapat mencapai suatu keseimbangan persekutuan hidup yang diperlukan, pengaturan tata air, pengaruh terhadap iklim, dan lain sebagainya.
Hutan mempunyai fungsi yang menguasai hajat hidup orang banyak, antara lain: (Bambang Pamulardi,1999)
1. Mengatur tata air, mencegah dan membatasi bahaya banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah.
2. Memenuhi produksi hasil hutan untuk keperluan masyarakat pada umumnya dan kususnya untuk keperluan pembangunan, industri dan ekspor.
3. Membantu pembangunan ekonomi nasional pada umumnya dan mendorong industri hasil hutan pada khususnya.
4. Melindungi suasana iklim dan memberi daya pengaruh yang baik.
5. Memberi keindahan alam pada umumnya dan khususnya dalam bentuk Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata dan Taman Buru untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan, dan pariwisata.
6. Merupakan salah satu unsur basis strategi pertahanan nasional.
7. Memberi manfaat manfaat lain yang berguna bagi umum. Oleh karena itu di dalam Pasal 5, ayat (1) ditetapkan, bahwa semua hutan dikuasai oleh Negara. Pengertian “dikuasai” bukan berarti “dimiliki” melainkan suatu pengeertian yang mengandung kewajiban kewajiban dan wewenang wewenang dalam bidang hukum public.
Berdasarkan pemilikannya hutan dibagi menjadi dua jenis:
1. Hutan Negara ialah semua hutan yang tumbuh di atas tanah yang bukan tanah milik. Hutan yang tumbuh atau ditanam di atas tanah yang diberkan kepada kepala Daerah Swatantra denagn hak pakai atau hak pengelolaan mempunyai status sebagai Hutan Negara.
2. Hutan Milik ialah hutan yang tumbuh atau ditanam di atas tanah milik, yang lazimnya disebut hutan rakyat dan dapat dimiliki oleh orang, baik sendiri maupun bersama sama orang lain atau Badan hukum.
Berdasarkan fungsinya hutan dapat dibagi menjadi empat jenis:
1. Hutan Lindung ialah hutan yang mempunyai keadaan alam sedemikian rupa, sehingga pengaruhnya yang baik terhadap tanah, alam sekelilingnya dan tata air perlu dipertahankan dan dilindungi.
2. Hutan Produksi ialah hutan yang baik keadaan alamnya maupun kemampuannya sedemikian rupa, sehingga dapat memberikan manfaat produksi kayu dan hasil hutan lainnya.
3. Hutan Suaka Alam ialah kawasan hutan yang keadaan alamnya sedemikian rupa, sehingga sangat penting bagi kepentingan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Karenanya kawasan hutan semacam ini perlu mendapat perlakuan khusus. Hutan Suaka Alam ini dibagi menjadi Cagar Alam dan Suaka Margasatwa.
4. Hutan Wisata ialah hutan yang karena keindahannya sedemikian rupa, sehingga mempunyai kemampuan untuk dibina secara khusus untuk keperluan pariwisata.
b) Menjelaskan permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan hutan Indonesia
Indonesia dikaruniai keanekaragaman kekayaan alam yang luar biasa, Indonesia memiliki hutan yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Namun telah banyak muncul permasalah dari pemanfaatan hutan secara besar besaran yang berakibat buruk bagi Negara kita maupun bagi dunia.
Masalah hutan menyangkut hampir segala aspek kehidupan seperti pembangunan, ekonomi, politik, keamanan, pembayaran hutang, peningkatan kesejahteraan, pengendalian erosi, penyeimbang daur hidrologi, penyeimbang gas rumah kaca di atmosfer, gudangnya keanekaragaman hayati, surga bagi berbagai hewan dan tidak kurang pentingnya hutan juga memberi nilai nilai estetik, dan spiritual.
Di Indonesia masalah perusakan hutan dipercepat oleh semangat ingin membangun Negara secara besar besaran dengan biaya yang dipinjam secara besar besaran pula dari Negara maju. Untuk membayar bunga dan menyicil pinjaman itu, negara Indonesia memerlukan devisa yang besar besaran pula. Sebagai negara agraris akhirnya Indonesia mengandalkan hutan. Hutan kita yang lebat dan kaya akan jenis pohon yang kayunya bagus untuk industri menjadi sumber devisa kita, sehingga hutan kita pun berubah menjadi semacam tambang besar.
Eksploitasi hutan skala besar telah dimulai sejak tahun 1967, Sejak Indonesia membuka diri pada perekonomian dunia dan mengundang masuk modal asing untuk berusaha diberbagai bidang usaha di Negara kita serta diberlakukannya pula Undang Undang Penanaman Modal Asing (No.1/1967) yang dirancang pemerintah untuk menarik modal asing dalam mempercepat perbaikan perekonomian, juga merangsang penanam modal asing maupun penanam modal dalam negri untuk menarik keuntungan di bidang kehutanan Indonesia. Pemerintah Indonesia juga mengeluarkan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) kepada puluhan bahkan ratusan perusahaan besar dan kecil. Dalam waktu yang tidak lama jumlah pemegang HPH meningkat dengan sangat pesat, sehingga dalam rentang waktu antara tahun 1970 sampai 1976 jumlah pemegang HPH meningkat empat kali lipat dari sebelumnya. (Mochtar Lubis,1992)
Semenjak itu proses perusakan hutan yang disusul dengan perusakan lapisan tanah subur paling atas di berbagai daerah di Indonesia telah meningkat dalam kecepatan prosesnya, sebelum hutan di negeri kita ini dibuka bagi berbagai pengusaha asing maupun pengusaha dalam negri memang telah terjadi juga proses perusakan hutan, akan tetapi dalam skala yang lebih kecil dan dalam waktu yang lebih lambat. Saat ini cukup banyak para pemerintah serta para ahli yang hendak lepas tanggung jawab akibat kerusakan yang ditimbulkan ini dengan memberikan pernyataan bahwa kerusakan hutan di negeri kita ini akibat dari kaum peladang yang berpindah pindah,mereka membakar hutan, kemudian bercocok tanam satu atau dua tahun lalu pindah lagi dan demikan seterusnya. Meskipun mereka telah lama berbuat seperti ini tetapi kerusakan yang mereka lakukan masih kalah dengan pembabatan hutan yang dilakukan oleh perusahaan perusahaan kayu yang menggunakan alat alat modern. Jika dengan memakai kapak sebuah pohon besar diperlukan waktu berjam jam untuk menebangnya namun dengan alat alat modern sebuah raksasa hutan dapat dirobohkan dalam waktu beberapa menit saja.
Pemotongan kayu yang tidak diawasi dan tidak selektif, kebakaran hutan, berladang berpindah pindah, sikap tak peduli, kegagalan melakukan penghijauan kembali oleh berbagai sebab (diantaranya penyelewengan anggaran), dan kurang ketatnya pengawasan terhadap pengusaha hutan untuk melakukan penanaman kembali (meskipun sebelumnya mereka telah menandatangani kontrak untuk menanam kembali tapi sedikit sekali terlihat hasilnya) hal hal seperti inilah yang menyebabkan keadaan hutan di indonesia sangat memprihatinkan.
Meskipun pemerintah Indonesia telah mengeluarkan putusan melarang ekspor kayu gelondongan,hal ini tidak banyak pengaruhnya unttuk memperlambat pembabatan hutan hutan di Indonesia. Pemotongan kayu hanya menurun jika harga kayu turun di pasaran Dunia. Tetapi begitu harga naik maka pemotongan kayu segera ikut meningkat.
Selain kerusakan hutan akibat ulah penebangan manusia, bencana kebakaran hutan juga sering menyerang hutan hutan di Indonesia. Bencana kebakaran hutan terbesar telah terjadi di Indonesia pada tahun 1982-1983. Api dibiarkan melalap hutan terus menerus hingga menelan tidak kurang dari 3.600.000 hektar luasnya di Kalimantan Timur, sungguh sebuah kerugian raksasa. Departemen Kehutanan Indonesia terlihat tidak berdaya untuk menghadapi kebakaran raksasa tersebut. (Hansjűrg Steinlin,1988)
Sampai dengan saat ini, di Indonesia masih terjadi deforestrasi dan
degradasi hutan yang meyebabkan penurunan penutupan vegetasi
hutan. Berdasarkan data dan hasil analisis Departemen Kehutanan, pada
periode 1985-1997 laju deforestasi dan degradasi di Indonesia mencapai
1,8 juta hektar per tahun. Pada periode 1997-2000 terjadi peningkatan
laju deforestasi yang cukup signifikan yaitu mencapai rata-rata sebesar
2,8 juta hektar dan menurun kembali pada periode 2000-2005 menjadi
sebesar 1,08 juta hektar sebagaimana disajikan pada Gambar 1. Pada
periode tahun 1985 s/d 1987, penurunan penutupan vegetasi hutan yang
sangat besar terjadi di Sumatera dan Kalimantan, sedangkan pada
periode 1997 s/d 2000 terjadi selain di Sumatera dan Kalimantan, juga di
Papua, yang selanjutnya secara umum terjadi penurunan angka ratarata
penurunan penutupan vegetasi hutan pada periode 2000 s/d 2005.
Terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia antara lain
disebabkan oleh :
- Kebakaran dan perambahan hutan;
- Illegal loging dan illegal trading yang antara lain didorong oleh
adanya permintaan yang tinggi terhadap kayu dan hasil hutan lainya
di pasar lokal, nasional dan global.
- Adanya konversi kawasan hutan secara permanen untuk pertanian,
perkebunan, pemukiman, dsb.
- Adanya penggunaan kawasan hutan di luar sektor kehutanan melalui
pinjam pakai kawasan hutan.
- Pemanenan hasil hutan yang tidak memperhatikan lingkungan.
Adapun penyebab lain yang lebih mendasar adalah belum adanya
institusi pengelola hutan di tingkat tapak dalam bentuk unit-unit
pengelolaan hutan (KPH) pada sebagian besar kawasan hutan produksi
dan hutan lindung, khususnya diluar Jawa
c) Menjelaskan dampak yang ditimbulkan dari berbagai aktivitas eksploitasi hutan terhadap lingkungan hidup
Saat ini, banyak sinyal sinyal Globalisasi yang mendera seluruh plosok dunia dalam bidang ekonomi,demokrasi,dan lingkungan hidup. Negara Negara di dunia berlomba lomba untuk mensejahterakan rakyatnya, (salah satunya adalah dengan terjadinya pemborosan pemakaian hutan hutan di dunia yang berakibat hutan hutan di bumi menjadi berkurang secara drastis, namun mereka juga terperangkap dalam kondisi lingkungan yang kini mulai tidak bersahabat.
Kalau hutan dilereng gunung habis ditebang,air hujan akan mengalir deras, membawa partikel tanah permukaan, yang kemudian bercampur menjadi lumpur. Peristiwa ini sekaligus menutup pori tanah dipermukaan, sehingga pada hujan berikutnya lebih banyak lagi air yang mengalir disepanjang lereng karena makin berkurangnya daya serap tanah. Kurangnya daya serap air di tanah itulah yang dapat mengubah tanah di lereng gunung menjadi daerah yang gersang dan kerdil. Keadaan akan semakin parah kalau air yang mengalir dari lereng gunung tanpa rintangan lalu menimbulkan banjir. Banjir mempunyai daya kekuatan yang besar untuk menghanyutkan lapisan humus pada permukaan tanah pertanian. Ini berarti menghanyutkan bagian terpenting dari komponen tanah yang menjamin produktivitas biologi tanah pertanian tersebut.
Hutan juga dapat menaikkan laju resapan air ke dalam tanah sehingga memperbesar simpanan air tanah yang dapat memperbesar aliran air pada musim kemarau. Dengan kata lain walaupun jumlah aliran total berkurang, tetapi distribusi aliran sepanjang tahun menjadi lebih baik. Sebaliknya dengan tidak adanya hutan aliran total menjadi lebih besar akan tetapi aliran terpusat pada saat musim hujan saja karena air hujan sebagian besar tidak meresap ke dalam tanah dan mengalir sebagai aliran permukaan. Dengan terpusatnya aliran dalam musim hujan naiklah resiko terjadinya banjir dalam musim hujan tersebut, sedangkan pada musim kemarau aliran mengecil karena tidak cukup tersedia air dalam simpanan air tanah. Bahkan dapat terjadi aliran air dalam musim kemarau terhenti. Inilah yang memberikan kesan bahwa hutan mengurangi air. Memang benar hutan tidak dapat meniadakan banjir, melainkan hutan hanyalah mengurang resiko terjadinya banjir, walaupun terdapat banyak hutan jika terjadi hujan yang luar biasa besarnya di daerah itu, akan terjadi juga banjir. Namun banjirnya akan lebih kecil dari pada jika hanya terdapat sedikit hutan. Banjir yang terjadi pun biasanya tidak bersifat banjir bandang. Jadi nampaklah bahwa penebangan hutan menciptakan suatu ‘rangkaian setan’.
Kerusakan besar yang terjadi pada hutan sulit sekali dapat dipulihkan. Kerusakan itu terutama adalah berupa :
Tanah sekitar pohon yang ditebang jadi terbuka, Hujan lebih lebat sementara matahari lebih banyak pancarannya sepanjang tahun. Factor ini membuat tanah tropis amat rapuh dan mudah erosi,serta sangat rawan kebakaran. Karena itu daerah terbuka sekitar penebangan jadi kering dan bersuhu tinggi. Jika tiba musim hujan timbul longsor dan berton ton tanah hanyut ke sungai, membuat air sungai itu keruh pekat dan ikan serta makhluk lain mati. Sebaliknya dibekas penebangan tanah jadi kerdil. Biji pohon di bekas penebangan tidak bisa berkecambah lalu mati. Akibatnya di bekas penebangan itu tidak bisa tumbuh pohon baru kecuali ilalang dan tumbuhan semak. Sehingga dibekas penebangan tumbuhan dominan hanya semak. Pohon sekitar yang tidak di tebang jadi rusak dan mudah terkena infeksi jamur serta parasit lain, hal ini menyebkan tumbuhan menjadi merana dan mati. Pengangkutan balok kayu hasil tebangan menggunakan jalan kusus, yang umumnya menggunakan sekitar 15-25% kawasan hutan. Pohon tua habis, padahal pohon tua tersebut kaya sekali akan makhluk. Berkaitan dengan hal hal tersebut maka habitat makhluk menjadi susut secara besar besaran, sehingga jumlah spesies dan populasi tiap spesies dikawasan hutan penebangan dan di kawasan sungai daerah aliran sekitarnya menjadi susut juga.
d) Menjelaskan upaya mengatasi permasalahan hutan di Indonesia
Tiada hasil tanpa pengorbanan,jadi untuk mewujudkan kelestarian hutan yang mendasar harus ditingkatkan hubungan dan kesadaran manusia terhadap hutan. Ini berarti bahwa partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan dan pelestarian hutan mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan pemungutan manfaat, haruslah diperluas. Berhubung kendala dalam memperluas partisipasi ini adalah adanya ketidaksamaan dan ketimpangan stuktur maka yang diperlukan terlebih dahulu adalah restrukturisasi kebijakan kehutanan. Restrukturisasi kehutanan mengandung arti mengubah kebijakan kebijakan dalam bidang kehutanan sehingga lebih mencerminkan kepentingan masyarakat luas. Dengan demikian rakyat tidak hanya merasakan bencana akibat perusakan hutan melainkan juga menikmati manfaat secara langsung dari keberadaan hutan.
Yang juga perlu mendapat perhatian adalah kenyataan bahwa lamanya suksesi untuk mencapai klimaks kembali akan memerlukan waktu yang sangat lama. Walaupun hutan yang telah rusak dihutankan kembali tetapi keanekaragaman hayati yang ada tidak akan pernah dapat pulih kembali seperti semula. Jadi pemilihan hutan yang ditebang sungguh memerlukan kearifan agar tidak sembarang menebang pohon pohon di hutan. Dalam rencana diatas kertas, hal ini memang sudah diatur, tetapi dalam praktek pelaksanaannya masih banyak hal yang perlu dipertanyakan. Sekarang ini yang jadi persoalannya bukan semata mata terletak pada penebangannya, tetapi yang lebih penting adalah usaha kita dalam merehabilitasi dan mereboisasi hutan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar